Minggu, 07 April 2013

PENGANTAR HUKUM INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Lata Belakang
Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan.1Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.
UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.
B.           Rumusan Masalah
1.      Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
2.      Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
3.      Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?
C.           Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud Rumusan Masalah di atas.




BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Alsan UU No 10 Tahun 2004 diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011
Agar supaya terciptanya suatu negara hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU tata cara dan mekaisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia telah ada beberapa regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum lengkap, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten.2 Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, yaitu TAP MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Contoh TAP MPR yang masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
UU merupakan sebuah produk politik, berarti sangat sarat dengan muatan kepentingan dan ada kemungkinan sebuah UU akan bertentangan dengan konstitusi atau UUD,3 ataupun sebuah peraturan yang ada di bawah UU bisa saja bertentangan dengan UU. Berpijak dari alasa tersebut, untuk check and balances diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusional sebuah UU ataupun Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Pengujian peraturan perundangan-undangan ini biasa disebut dengan judicial review, baik pengujian UU terhadap UUD ataupun pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Sepintas memang tidak ada masalah dengan UU No. 12 tahun 2011 tersebut, namun kalau kita cermati dengan seksama maka akan terlihat kekosongan norma dalam hal pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Walaupun mengenai mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU 12/2011 menyebutkan bahwa:
a.       Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b.      Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).
Pada pasal ini tidak jelas mengenai jika UU bertentangan dengan TAP MPR, kemana UU tersebut akan diuji, karena bisa saja suatu UU bertentangan dengan TAP MPR yang masih berlaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi PERMASALAHAN dalam tulisan ini adalah bagaimana pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih berlaku?
B.                 Teori Perundang-Undangan Dan Judicial Review
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya. Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku, norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Selanjutnya, seseorang menggabungkan diri dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau beberapa individu yang bergabung untuk membentuk masyarakat. Lalu masyarakat merupakan gabungan individu dan negara adalah masyarakat politik yang terorganisir, maka di mana ada masyarakat di situ ada hukum, kata Cicero.
Secara umum norma hukum norma hukum berisi suruhan, larangan dan kebolehan.Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa, karena penguasa memonopoli hukum, sebab hukum ada karena adanya kekuasaan yang sah.
Setiap UU yang akan diberlakukan dalam sebuah negara harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga legislatif. Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat maka legislasi adalah fungsi utamanya. Menurut Montesquieu, lembaga perwakilan rakyat dibentuk untuk membuat Undang-undang, atau untuk melihat apakah Undang-undang tersebut dijalankan semestinya, dan menentukan keuangan publik. Frank J. Goodnow mengemukakan bahwa fungsi utama dalam pemerintahan adalah fungsi politik, atau fungsi yang menyatakan keinginan negara dan fungsi administrasi, yang berarti melaksanakan keinginan negara.
Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembentukan UU, menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu :
a.       Prakarsa pembuatan Undang-undang;
b.      Pembahasan draft Undang-undang;
c.       Persetujuan dan pengesahan draft Undang-undang;
d.      Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka menurut penulis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perundang-undangan merupakan suatu norma atau aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang sah sebagai regulasi dalam suatu negara yang bersifat umum dan konkrit serta berbentuk suruhan, larangan atau kebolehan.
Kaitannya dengan norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya. Menurut Kelsen, norma yang ada dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar yang bersifat koordinatif, melainkan masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Di sini Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, maka UU yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Sejalan dengan pendapat Kelsen ini, maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori. Dalam hal hierarki norma tersebut, norma dasar merupakan tempat tergantungnya norma yang ada di bawahnya.
Oleh karena peraturan perundang-undangan mempunyai hierarki, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka harus adajudicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang diatasnya. Judicial review dalam UUD 1945 di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga kehakiman, yaitu Mahkaah Konstitusi yang menguji UU terhadap UUD 1945 dan Mahkamah Agung yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
C.                 Pengujian UU Terhadap TAP MPR
Secara teoritis hierarki perundang-undangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 terdiri atas Staat fundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm UUD 1945,Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm Undang-undang. UUD 1945 setelah amandemen hanya memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden, secara otomatis konstitusi tidak lagi memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan dengan begitu maka MPR menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.
Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih bagus kalau dilihat terlebih dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula, maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara otomatis aturan yang dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR. Karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa penetapannya merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP MPR tersebut lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka Ketetapannya setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja.
Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus sesuai dengan TAP MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian ini tidak diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun 2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. Sebenarnya ada celah dalam melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita tarik dari lembaga yang membuatnya.
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) maka secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga yang membuatnya inilah, maka saya lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU terhadap TAP MPR/S maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi.
Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD 1945,23 karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat oleh lembaga yang sama, TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya, sedangkan TAP MPR tidak begitu sulit.
Perdebatan pasti akan muncul jik` pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara normatif kepasyian hukum memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan, sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum, maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.
Pendapat ini bisa beralasan dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai katarechtstaat, berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan, bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan,25 karena hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan. Misalkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Andaikan ada yang keberatan dengan UU ini maka pengujian bisa dilakukan karena bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini belum ada solusinya, tetapi demi menciptakan keadilan maka MK yang paling berwenang mengujinya terhadap TAP MPR No. XVI/MPR/1998.



  

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.
TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshickingbagi administrasi internal MPR saja.
Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.
Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar